Penulis
: Saiful Amien
ama’ah Jum’ah rahimakumullah..
Sebagai
orang timur dan beragama Islam, sesungguhnya kita mewarisi banyak tatanan nilai
yang mulia. Semua
itu bertebaran dalam pelbagai symbol tradisi, ujaran, pitutur, nyanyian,
dongeng dan firman-firman suci. Bisa dikatakan apa yang kita lihat, dengar dan
rasakan semuanya sarat dengan ajakan kebajikan. Namun sayangnya, entah mungkin
karena mata kita telah terbutakan, telinga kita telah tertulikan dan hati kita
telah terbekukan sehingga semua nilai itu hanyalah formalitas hiasan dinding
keberagamaan kita semata.
Di tengah penomena alam yang tidak terduga,
dan di tengah penomena kehidupan yang begitu cepat berubah, tatanan nilai itu
tampak lusuh, dingin, datar dan tanpa makna. Dari itulah, ada orang yang
menyebut bahwa dari sekian krisis yang terjadi pada bangsa ini, yang terparah
adalah krisis makna.
Kalaulah benar pembacaan ini, sungguh harga
diri kita sebagai manusia telah terjatuh pada titik nadirnya, karena
sesungguhnya potensi tertinggi yang dianugerahkan Allah SWT pada manusia adalah
kecerdasannya untuk memaknai. Potensi inilah yang membedakan manusia dengan
binatang, dan pada sisi inilah manusia tidak mampu dijelaskan oleh teori
evolusi Darwin.
Sekali lagi, kalaulah benar pembacaan ini,
maka tidak tertutup kemungki-nan kita termasuk golongan yang digambarkan oleh
Allah SWT dalam firman-Nya (QS. Al-a’rof [7]:179)
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi
neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.
Jama’ah Jum’ah yang dirahmati Allah..
Orang bijak mengatakan, makna bukanlah
untaian kata yang menghibur hati. Makna bukanlah kata-kata mutiara yang
menenangkan jiwa. Namun makna adalah ketika apa yang dilihat, didengar,
dirasakan, dipahami dan diyakini mampu menghadirkan perubahan di dalam tindakan
nyata. Maksud dari itu semua adalah keterpaduan antara keyakinan iman dan amal
kebajikan. Secara teologis, konsep ini dapat kita rujukkan pada setiap torehan
kata “آمَنُوا” di dalam al-Qur`an, di mana senantiasa
dilanjutkan dengan kata “و عملوا الصالحات”. Dengan kata lain, belumlah dikatakan
beriman diri kita, jika keyakinan yang ada di hati ini belum mampu kita
praksiskan dalam wujud amal kebajikan.
Muhammadiyah sebagai gerakan, sesungguhnya
adalah wujud nyata dari konsep keberimanan di atas. Lambangnya matahari
merupakan pertanda bahwa orang-orang persyarikatan ini selain mencerahkan
mestilah senantiasa memberi tanpa harap kembali. Untuk itu, maka basis
gerakannya bukanlah sekadar pemikiran yang melayang di awang-awang, tetapi
lebih pada amal-usaha yang nyata di pelbagai sektor kehidupan. Dan agar amal
itu kian optimal, maka selayaknyalah disinerjikan dalam kinerja organisasi yang
baik. Karena sebenar apapun amal kebajikan, jika tidak diorganisir dengan baik,
selain tidak efektif, juga akan tergerus oleh kebatilan yang terorganisir.
الحقّ بلا نظام يغلبه الباطل بنظام
Kini, marilah kita berkaca. Merasuk ke
dalam diri kita, jangan-jangan keimanan kita baru sebatas bualan tanpa
tindakan, hanya sekadar pengetahuan tanpa makna, atau hanyalah interpretasi
tanpa aksi. Kalau demikian adanya, maka kebinasaanlah jadinya. Muhammad Iqbal
(pujangga Muslim Pakistan) pernah mengingatkan dengan syairnya: “Hidup
tak ubahnya adalah lukisan dan puisi, semuanya adalah ekspresi. Kontemplasi
tanpa aksi adalah kematian”.
oOo
Pada khutbah kedua ini, khatib ingin
menambahkan renungan sebelumnya dengan mengajak menelisik pada kisah nyata yang
dikutip dari sebuah tabloid Islam di London, Inggris berikut ini:
Adalah seorang imam masjid di London, yang
setiap hari pergi pulang dari rumahnya ke masjid dengan mengendarai
bus umum. Ongkos bus tersebut dibayar pakai kartu (card), atau langsung ke
sopir karena bus tidak memiliki kondektur. Setelah bayar, baru kemudian
mencari tempat duduk yang kosong.
Sang imampun membayar ongkos pada sopir
lalu menerima kembalian, sebab hari itu ia tidak punya uang pas, baru kemudian
duduk di bangku belakang yang kebetulan kosong.
Di tempat duduknya, ia menghitung uang
kembalian dari sopir yang ternyata kelebihan 20 sen. Sejenak olehnya
terpikir, uang ini dikembalikan atau tidak yah? Ah hanya 20 sen saja kok?
Lagian sopirnya juga orang kafir, atau aku masukkan saja ke kotak amal di
masjid??
Setelah sampai di tempat tujuan, ia pun
hendak turun dengan berjalan
melewati sopir bus tersebut. Dalam hatinya masih bergejolak atas uang 20 sen
itu, antara dikembalikan atau tidak. Namun ketika sampai di dekat sopir,
spontan iapun mengulurkan 20 sen sambil berkata: “Uang kembaliannya
berlebih 20sen”.
Tanpa disangka tanpa dinyana.. sopir
itu mengacungkan jempol seraya berkata:
”Anda berhasil..!!!”.
“Apa maksud Anda..?” Tanya sang imam.
“Bukankah anda imam masjid yang di sana
tadi?” Tanya sopir.
“Betul” jawabnya
Lantas sopir itu berkata… “Sebenarnya sejak
beberapa hari ini saya ingin datang ke masjid Anda untuk belajar dan memeluk
Islam.. tapi timbul keinginan di hati saya untuk menguji Anda sebagai imam
masjid, apa benar Islam itu seperti yang saya dengar: jujur, amanah dan
sebagainya. Saya sengaja memberikan kembalian berlebih dan anda berhasil. Saya
akan masuk Islam”. Kata sopir tersebut..
Alangkah tercengangnya imam masjid
tersebut, sambil beristighfar meyesali apa yg dipikirkannya tadi. Hampir
saja ia kehilangan kepercayaan hanya dengan uang 20 sen itu. Astaghfirullah…
Jama’ah Jum’ah yang dirahmati Allah SWT..
Kisah
di atas menunjukkan tentang bagaimana kesejatian iman seorang Muslim senantiasa
akan diuji. Apakah
sebatas keyakinan tanpa makna, atau menyatu dengan sikap dan amal kebajikan
kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan di hadapan siapa saja…
Ujian keimanan itu akan selalu kita hadapi,
karena sesungguhnya kehidupan ini Allah ciptakan memang untuk menguji siapa di
antara hambaNya yang paling banyak dan paling baik beramal. Sebagaimana Allah
berfirman dalam QS: Al-Mulk: 2:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya
Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya. Dan
Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun“.
Amal yang baik, cirinya adalah karena
dilandasi niatan ibadah yang penuh keikhlasan. Tanpa ikhlas, amal seseorang
akan sia-sia tidak berguna dan tidak dipandang sedikitpun oleh Allah swt. Imam
Al-Ghazali menuturkan, “Setiap manusia binasa kecuali orang yang berilmu.
Orang yang berilmu akan binasa kecuali orang yang beramal (dengan ilmunya).
Orang yang beramal juga binasa kecuali orang yang ikhlas (dalam amalnya). Namun
orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan berhati-hati dalam beramal”.
Dalam hal ini, hanya orang-orang yang
ikhlas beramal yang akan mendapat keutamaan dan keberkahan yang sangat besar,
seperti yang dijamin Allah dalam firmanNya,
إِلَّا عِبَادَ اللهِ الْمُخْلَصِينَ. أُوْلَئِكَ لَهُمْ رِزْقٌ مَّعْلُومٌ. فَوَاكِهُ وَهُم مُّكْرَمُونَ
“Tetapi hamba-hamba Allah yang
dibersihkan (bekerja dengan ikhlas). Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu,
yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, di dalam
syurga-syurga yang penuh kenikmatan”. (Ash-Shaaffat: 40-43)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar