KEMATIAN
DAN HARAPAN
Penulis
: Saiful Amien
Hadirin yang dirahmati Allah SWT
Saya ingin memulai renungan ini dengan
menilik kembali kisah nyata yang pernah dikabarkan di salah satu stasiun
televisi. Walaupun cerita ini telah lama, namun ada harapan semoga kita bisa
mengambil I’tibar darinya.
Jejen (40 tahun) menceritakan bahwa
peristiwa kematian Nana (71 tahun), ibunya sangat tiba-tiba dan tanpa diduga
sama sekali. Tidak ada pertanda kalau ibunya sedang sakit atau apapun. Semuanya
berjalan normal.
Saat itu telah masuk waktu Subuh, seperti
biasanya sang ibu terjaga dengan sendirinya dan bergegas mengambil wudhu. Suara
gemercik air membangunkan Jejen dari tidurnya. Tak lama kemudian, melalui
celah-celah dinding gedek pemisah kamar mereka, secara perlahan Jejen mendengar
bacaan shalat yang keluar dari mulut ibunya. Tiba-tiba ia mendengar suara
“brukk!” yang cukup keras. Jejen terhentak dan beranjak menuju kamar ibunya dan
didapati ibunya sudah tersungkur dalam posisi miring. Sementara kedua tangannya
masih dalam posisi menengadah, sebagaimana layaknya orang yang tengah berdoa.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” ucap Jejen saat menyadari urat nadi
ibunya tidak lagi berdenyut. Ibunya telah wafat. Lalu sebagaimana wasiat sang
ibu, Jejen menguburkan jenazahnya di atas tanah miliknya, di sekitar rumahnya.
Lima belas tahun kemudian, saat Jejen sudah
dikarunia dua orang anak dari pernikahannya dengan Fatimah, wanita yang sengaja
dipilihkan ibunya, tiba-tiba muncul peristiwa di mana diketahui bahwa tanah
waris ibunya telah berpindah tangan. Menurut pengakuan Jejen, dirinya tidak
bisa berbuat apa-apa ketika muncul sosok yang mengaku sebagai ahli waris
ibunya. Secara singkat Jejen menceritakan bahwa tanah yang ditempatinya itu
adalah hak saudara ibunya. Sayang ketika ibunya meninggal, Jejen tidak mendapat
wasiat maupun hak waris mengenai tanah yang ditempatinya itu. Ya barangkali
karena memang Jejen hanyalah anak angkat ibu tua itu. Ibunya pun tak sempat
bercerita mengenai asal muasal tanah itu.
Karena di antara tetangga ada yang
mengetahui bahwa orang yang mengaku berhak atas tanah itu memang salah satu
keluarga almarhumah, membuat posisi Jejen semakin lemah. Agar tidak terjadi
keributan lebih panjang, Jejen akhirnya pasrah dan membiarkan orang tersebut
menguasai tanah yang diakui sebagai haknya. Masalahnya adalah di atas tanah
tersebut terdapat makam ibu Jejen sedangkan tanah itu akan segera dijual. Maka
atas kesepakatan dalam musyawarah keluarga yang dihadiri oleh para tokoh
masyarakat setempat, makam Nana akan dipindahkan ke tempat lain.
Penggalian kuburan pun dilakukan dan
dipimpin oleh Ustadz Suhad, tokoh agama setempat yang juga guru mengaji
almarhumah. Proses penggalian berlangsung lancar. Dari lubang kubur, ternyata
mayat Nana masih terbungkus kain kafan. Peristiwa itu membuat Jejen, Ustadz
Suhad serta beberapa orang yang turut menggali atau menyaksikannya terkejut.
Setelah diangkat, subhanallah, ternyata Jenazah Nana masih utuh
layaknya jenazah baru yang akan dimakamkan. Daging yang melekat di tubuh Nana
tidak terasa lembek di tangan orang yang mengangkatnya. Jenazah Nana seperti
tidak termakan oleh waktu dan tanah.
Orang-orangpun ramai memperbincangkan
perihal jenazah tersebut. Siapakah Nana sebenarnya? Mengapa ia bisa mendapatkan
satu dari tanda kematian yang khusnul khatimah tersebut? Dalam kehidupannya
yang sederhana, Nana dikenal para tetangganya sebagai orang yang dermawan, taat
beribadah, dan dapat menjadi contoh bagi kita semua. Mereka melihat pada diri
Nana suatu pelajaran bahwa hidup manusia tidak berarti apa-apa jika jauh dari
Allah SWT. Karenanya mendekatkan diri pada-Nya setiap saat merupakan jalan yang
terbaik sebelum maut menjemput.[1]
Para Hadirin rahimakumullah..
“Kullu nafsin dzaiqatul maut”. Semua
yang hidup pasti akan mati. Siapapun kita, muslim atau kafir, kita tidak
menafikannya. Karena secara kasat mata, kematian adalah realitas yang kita
temukan sepanjang hidup ini. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan
mungkin setiap detik, ada yang mati. Selalu saja ada yang mati. Termasuk
makhluk di sekitar kita, apakah yang telah kita namai atau belum. Termasuk
manusia di sekeliling kita, apakah itu orangtua, saudara, sahabat, tetangga
atau yang belum kita kenal.. Semuanya binasa. Dan dalam sanubari, kitapun haqqul
yaqin bahwa diri ini bila tiba saatnya juga akan mati.
Jadi kematian
adalah real, suatu fakta yang pasti terjadi. Sehingga Imam Ja’far ash-Shadiq
pernah bertutur: “Tidaklah Allah Azza wajalla menciptakan satu
keyakinan yang di dalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun, atau bahkan
hanya sekadar menyerupai keraguan, daripada kematian”[2].
Walaupun semua manusia satu keyakinan
tentang realitas kematian, namun tidak semua memiliki satu sikap yang sama
terhadapnya. Karena yang demikian itu sangat dipengaruhi oleh keberbedaan
carapandang dan pemahaman terhadapnya. Ada di antara manusia yang berpandangan
bahwa hidup ini hanya sekali yakni kehidupan duniawi semata dan kematian
merupakan titik akhirnya maka mereka akan mengejar kelezatan duniawi dimanapun,
kapanpun dan bagaimanapun caranya senyampang maut belum menjemput.
Sebagai seorang muslim, tentu tidaklah
demikian carapandang kita, karena Islam telah mengajarkan bahwa kehidupan ini
tidaklah berhenti di dunia semata tetapi merupakan satu paket perjalanan
dunia-akhirat.
Yang pertama dinamai Al-Quran sebagai al-hayat
ad-dunya (kehidupan yang rendah), sedangkan yang
kedua dinamainya al-hayawan (kehidupan yang sempurna).
Sebagaimana firman Allah:
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ
لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan
senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya negeri akhirat itu adalah
al-hayawan (kehidupan yang sempurna) jika mereka mengetahui” (QS Al-’Ankabut
[29]: 64).
Dijelaskan pula bahwa,
قُلْ مَتَاعُ الدَّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً
Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya
sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan kamu
sekalian tidak akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa’ [4]: 77)
Carapandang inilah yang menjadikan kita,
sebagai muslim, memiliki orientasi dan visi hidup yang melesat jauh ke depan.
Visi hidup yang tidak berhenti ketika datang kematian tetapi melintasi
pasca-kematian. Karena kematian sebagaimana dikatakan oleh Raghib Al-Isfahani
sebagai proses perpindahan dari satu negeri (dunia) ke negeri yang lain
(akhirat). Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada
hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian
manusia dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam
yang terkurung dalam telur,
tidak dapat mencapai kesempurnaan evolusinya kecuali
apabila ia menetas. Demikian juga manusia, mereka tidak
akan mencapai kesempurnaannya kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).
Para Hadirin yang dikasihi Allah..
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita
bahwa kematian merupakan pintu menuju kehidupan yang lebih abadi. Di sanalah
kehidupan yang sesungguhnya dipertaruhkan. Apakah dalam kenikmatan atau
kesengsaraan. Hal itu tergantung pada kualitas amal kita pada saat hidup
sebelum kematian (kehidupan duniawi) sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah:
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ.
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya lah
segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati
dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. Al-Mulk: 1-2)
Karena itu, walaupun kehidupan duniawi
seringkali disebut sebagai kehidupan yang rendah dan menipu namun kita tidak
bisa meninggalkannya begitu saja karena di situlah ladang amal kita sebagaimana
disabdakan oleh Rasulullah saw: “ad-dunya mazra’atul akhirah” bahwa
dunia itu adalah ladang akhirat. Bagaimana mungkin kita akan berpanen ria di
akhirat kelak jika meninggalkan dunia, tanah ladang kita. “Sesungguhnya Allah
swt, kata Imam Ali dalam Nahjul Balaghah, telah menjadikan dunia
untuk masa sesudahnya, dimana penghuninya diuji untuk mengetahui siapakah yang
terbaik kualitas amalnya, dan tidaklah untuknya kita tercipta, serta tidak pula
dengan larut di dalamnya kita diperintah”.
Di sinilah konsep kematian bagi kita
melahirkan harapan sekaligus lecutan agar kita senantiasa waspada untuk mampu
mengisi kehidupan duniawi ini dengan kesalehan-kesalehan yang terbaik
sebagaimana dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitulah kiranya isti’dad (persiapan)
untuk memasuki pintu keabadian. Dan selanjutnya, kita serahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT, semoga kita semua dimatikan dalam kusnul khatimah, amin…![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar